Mengenal Lebih Dekat Dieng dan Sejarahnya
DIENG (Dieng Plateau)
Dieng terletak pada ketinggian 2093 mdpl, dengan luas situs purbakala 90.737 ha. Menurut SK.no 33 tanggal 6 september 1937 oleh Gubernur Hindia Belanda. Secara astronomis Dieng terletak antara 3’5 – 3’7 BT dan 7’11 – 7’13 LS. Suhu di Dieng terletak antara 14-17’c pada siang hari, dan pada malam hari berkisar 10’c, namun pada bulan-bulan seperti bulan Juni-Agustus suhu malam hari turun drastis, kadang bisa mencapai 5’c. Sehingga pada bulan-bulan tersebut sering terjadi “FROST”.(embun yang mengkristal) fenomena alam tersebut bagi masyarakat Dieng terkenal dengan nama “BUN UPAS” atau Embun Beracun. Karena bisa merusak tanaman kentang yang tumbuh di Dataran Tinggi Dieng.
Dengan letak geografis dan keadaan alam yang mendukung, mayoritas penduduk Dieng adalah Bertani. Salah satu komoditi andalannya adalah kentang. Dieng juga menjadi tempat tumbuh tanaman langka seperti, Gingseng Purwaceng (pimmpinella pruatjan molkenb) yang berfungsi sebagai penambah setamina badan, Papaya Dieng atau Kates (carica candarmansensis). Dan yang satunya lagi adalah Kacang Babi (kacang dieng).
Dataran Tinggi Dieng juga dahulu adalah tempat habitat asli Elang Jawa (spizaetus bartelsi) namun hewan tersebut sekarang sulit ditemui.
GEDUNG (Soeharto – Whitlam)
Gedung Soeharto – Whitlam adalah bangunan bersejarah, yang pernah digunakan untuk pertemuan Bapak Presiden RI SOEHARTO dan PM Australia, GOUGH WHITLAM, pada tanggal 7 September 1974 dalam rangka kunjungan kenegaraan, sehingga bangunan tersebut dikenal dengan nama Gedung SOEHARTO – WHITLAM.
DARMACALA
Sejak jaman dahulu hingga sekarang Dieng masih dianggap tempat yang menarik untuk di kaji bagi sejarahwan dan ahli arkeologi. Namun berdasarkan 22 Prasasti yang berbahasa Jawa Kuno memberikan gambaran bahwa Dieng adalah sebagai pusat kegiatan peribadatan keagamaan umat Hindu (pusat religi) bukan sebagai pusat pemerintahan sebuah kerajaan.
Darmacala menurut ahli sejarah adalah tempat peristirahatan para peziarah yang biasanya terdapat di sekitar Candi/Vihara, disinilah kaum peziarah mempersiapkan diri beribadah ke Candi/menghadap guru di Vihara, termasuk juga tempat yang dipergunakan untuk mempersiapkan perlengkapan upacara.
Pada bulan juni 2008 para ahli berhasil merekonstruksi bangunan Darmacala, yang tertentu berdasarkan hipotesis/dugaan yang didasarkan pada relief-relief bangunan Darmacala yang ada di relief Candi Borobudur.
Dieng dahulu diperkirakan sebagai SIMA yaitu Tanah Perdikan.
Seperti kebiasaan pada kerajaan Jawa Kuno, bila suatu daerah atau seorang penguasa daerah terdapat bangunan Suci atau di anggap sangat mendukung dan berjasa terhadap kerajaan, maka tanah di wilayah itu dibebaskan dari Pajak. Pajak tidak diserahkan kebendahara kerajaan, tetapi di gunakan untuk pengelolaan bangunan Suci.
Dahulu Dieng adalah merupakan Lungguh Rakai Kayu Wangi yang pernah menjadi Raja Mataram pada tahun 855-885 AD dan bergelar Sri Maharaja Rakai Kayu Wangi Dyah Loka Pala, yang diperkirakan keturunan Dinasti Sanjaya
CANDI
Kata Candi barasal dari Candikagraha.
Dan Candi merupakan Replika tempat tinggal Dewa dengan bentuk meruncing keatas seperti Gunung.
Candi-candi di Dieng ditemukan pertama kali pada abad ke-18 oleh ahli arkeologi Belanda yang bernama Teodor Van Erp. Sewaktu ditemukan candi-candi tersebut masih tenggelam dalam Air, baru kemudian pada tahun 1814 ahli arkeologi dari Inggris yang bernama H.C Cornelius mengadakan penyelamatan candi-candi tersebut.
Setelah 42 tahun kemudian tepatnya tahun 1856 usaha pengeringan dilokasi Candi dilakukan oleh J.Van Kinsbergen, dengan membuat terowongan air sebagai saluran pembuangan, saluran tersebut sekarang dikenal dengan nama Gangsiran Aswotomo.
Seluruh candi-candi yang ada di Dieng secara Arsitektural terpengaruh candi-candi yang ada di India, seperti :
Candi Semar
Candi Semar kalau dilihat bentuknya sangat unik di banding candi-candi yang lain. Candi Semar mirip dengan salah satu Candi yang ada di India yaitu Candi Parasurameswara yang berbentuk Mandapa. Hingga penyebutan Mandapa berubah ke bangunan Jawa Kuno yang berarti Pendopo (ruang pertemuan).
Candi Arjuna
Di India Candi yang mirip dengan Candi Arjuna adalah Candi Bintargaon yang berbentuk Wimana.
Salah satu keunikan Candi Arjuna adalah adanya Jaladwara yang terletak disamping sebelah kiri dinding Candi. Jaladwara berfungsi sebagai saluran buangan air dari dalam Candi, manakala diadakan upacara di dalam bilik Candi, karena salah satu ritus itu adalah melakukan siraman air pada Linggo – Yoni. Pada bilik Candi sekarang hanya tinggal Yoni yang telah patah ceraknya tanpa Linggo.
Candi Srikandi
Candi-candi di Dieng adalah Hindu, dewa utama yang di puja adalah Trimurti. Salah satu Candi yang ada relief Trimurti adalah Candi Srikandi.
Trimurti berarti 3 Dewa yang di puja adalah : Dewa Brahma (Dewa pencipta alam semesta) berada disisi sebelah kanan, Dewa Siwa (Dewa pengatur kembalinya isi alam semesta, atau Dewa penyeimbang) berada disisi belakang Candi. Dan yang ke-3 adalah Dewa Wisnu (Dewa pengatur waktu keberadaan alam semesta, atau Dewa pemelihara) berada disisi kiri Candi Srikandi.
Candi Puntadewa
Candi Puntadewa dilihat dari bentuknya merupakan yang paling gagah dang anggun dibanding Candi lainnya.
Dahulu relung-relungnya berisi beberapa arca Dewa, yaitu relung sebelah kiri arca Durga Mahisa Sura Mardini, relung sebelah belakang diisi arca Ganesa (putra dewi durga) dan yang relung sebelah kanan terdapat arca Agastya.
Namun sekarang relung-relung tersebut telah kosong semua Arca di pindah di Museum dan sekarang menjadi koleksi Museum Kailasa Dieng.
Candi Sembadra
Candi sembadra adalah Candi yang paling ujung Selatan diantara candi-candi yang lain.
Pada umumnya candi-candi di Dieng menggunakan nama-nama tokoh dalam Epos Mahabarata yang menjadi salah satu cerita dalam pewayangan, yaitu Semar,Arjuna,Srikandi,Puntadewa, dan Sembadra. Penamaan candi-candi itu meniru candi-candi di India atau secara kebetulan saja hingga saat ini belum diketahui secara pasti karena tidak ada prasasti yang dapat membuktikannya, namun beberapa ahli berpendapat pemberian nama tersebut dilakukan sekitar abad-12.
Tidak seperti bangunan lain, bahwa bangunan Candi mempunyai makna tersendiri dan dibedakan menjadi 3 bagian :
-Pertama bagian Kaki Candi melambangkan kehidupan Manusia (bhurloka)
-Kedua bagian Tubuh Candi melambangkan kehidupan orang-orang Suci (bhuarloka)
-Ketiga bagian Atap Candi melambangkan kehidupan para Dewa (swarloka)
Kemudian bagian-bagian Candi lainnya diantaranya adalah :
Kala
Kala adalah penggambaran muka dengan karakter raksasa, akan tetapi bentuk dasar kala adalah Singa, karena di India dikenal dengan Simhamuka atau Kirtimuka yang mempunyai sifat penghancur kekuatan jahat dan memberikan perlindungan kabaikan (tolak bala)
Jaladwara
Jaladwara berfungsi sebagai saluran buangan air dari dalam Candi, manakala diadakan upacara di dalam bilik Candi, yang terdapat di Candi Arjuna
Antefiks
Biasanya ditempatkan disudut atap atau lis setiap tingkatan atap
Kemuncak
Bagian paling atas dari Candi
Linggo
Symbol Dewa Siwa, symbol Maskulin (laki-laki)
Yoni
Symbol Dewi Durga, symbol Feminim (perempuan)
Biasanya Limggo dan Yoni terletak di bilik utama (garbagreha) dan menyatu yang berarti symbol penciptaan.
Candi Gatotkaca
Kelompok Candi Gatotkaca sebenarnya ada 6 Candi, yaitu : Candi Setyaki, Candi Petruk, Candi Antareja, Candi Nalagareng, Candi Nakula Sadewa dan Candi Gatotkaca. Diantara ke-6 Candi yang masih utuh adalah Candi Gatotkaca, sekalipun sewaktu diketemukan dalam keadaan rusak parah, namun karena batu-batuannya masih banyak yang tersisa hingga masih bisa direkonstruksi lagi pada tahun 1980 dan diresmikan oleh Bapak Mentri Pendidikan dan Kebudayaan RI Bapak Daud Yusuf. Sementara salah satu Candi yang saat ini dalam tahap rekonstruksi adalah Candi Setyaki.
Dibawah Candi Gatotkaca adaalah sebuah Telaga. Telaga tersebut bernama Telaga Balekambang. Telaga ini diperkirakan bekas letusan gunung berapi ribuan tahun yang lalu. Bale/Balai artinya Dipan, tempat tidur atau rumah, dan Kambang artinya mengapung. Jadi maksudnya adalah tempat tidur atau rumah yang mengapung.
Legendanya mengatakan : Barang siapa melihat Bale yang mengapung/mengambang di permukaan Telaga maka akan mujur dan bakal kesampaian apa yang diidamkan.
Museum Kailasa
Museum Kailasa adalah dimana kita bisa melihat koleksi Museum dan juga menyaksikan film documenter “Menyusuri Jejak Peradaban Dieng”.
Museum Kailasa diresmikan oleh Bapak Mentri Pariwisata dan Kebudayaan RI Jero Wajik pada tanggal 28 Juli 2008
Nama Kailasa berasal dari kata “Kailasa Parvata” yang berarti Gunung Kailasa
Gunung Kailasa mempunyai peran yang sangat penting karena dipercaya sebagai tempat suci (pitamaha) agama Hindu,Budha dan Jainism.
Dalam Hindu Kailasa di anggap sebagai ‘the abode of siva’ atau ‘paradise of siva’ dan juga dipercaya sebagai “the ultimate of soul” dan “the center of the world”.
Kailasa di jumpai dalam Prasasti Kapuhunan (878M) yang ditemukan di Dieng, dan sekarang berada di perpustakaan Universitas Leiden Negeri Belanda.
Diceritakan bahwa Kailasa adalah nama sebuah tempat suci (pitamaha) yang mendapat support dana untuk melaksanakan kebaktian terhadap Sri Harincandana (siva).
Lengger
Lengger menurut seniman berasal dari kata “LE” dan “GER”. Yang berarti LE artinya anak laki-laki dan GER yang berarti geger atau ramai. Namun ada yang mengatakan berasal dari kata “Elinga Ngger” yang berarti Ingatlah Nak.
Jadi lengger bermakna petuah/nasehat agar kita selalu eling/ingat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan berbuat baik kepada sesama.
Versi Cerita Berasal Dari Kerajaan Jenggala Jawa Timur
Dikisahkan, Raja Brawijaya kehilangan seorang putrinya yaitu Dewi Sekartaji (Dewi Candrakirana) tanpa diketahui kemana perginya. Kepergiannya lantaran tidak suka dan menolak lamaran Prabu Klono dari Sebrang.
Raja Brawijaya berusaha mencarinya namun tidak bisa menemukannya,
Kemudian raja membuat sayembara dalam keputusannya, siapa saja menemukan putrinya jika laki-laki akan di jadikan suami putrinya namun jika perempuan akan dianggap sebagai saudara perempuan putrinya.
Sayembara diikuti banyak kesatria dan akhirnya menyisakan 2 kesatria, yaitu : Joko Kembang Kuning dan Prabu Klono dari Sebrang yang ditolak cintanya.
Selanjutnya, Prabu klono dan Joko Kembang Kuning dalam pencariannya menyamar sebagai penari keliling dan setiap pementasannya mendapat sambutan yang meriah dari masyarakat sekitar. Demikian juga Joko Kembang Kuning turut mencarinya. Hingga di suatu waktu keduanya menemukan Dewi Sekartaji pada sebuah Desa. Kemudian keduanya menuntut hak yang sama untuk mempersunting Dewi Sekartaji. Untuk memilih calon suaminya, akhirnya keduanya beradu kesaktian yang akhirnya di menangkan oleh Joko Kembang Kuning. Dewi Sekartaji sangat gembira dipersunting Joko Kembang Kuning, terlebih ternyata Joko Kembang Kuning adalah seorang Pangeran Mahkota dari Kerajaan Jenggala, yang bernama Pangeran Panji Asmarabangun.
Candi Bima
Candi Bima Mempunyai tipe yang berbeda dibanding candi yang lain, dan berbentuk Shikara seperti di Orissa India. Relung-relungya berisi Arca Kudu, dan merupakan arca yang dimiliki oleh Candi Bima diantara candi-candi Hindu yang ada di Indonesia.
Kudu adalah lengkung tapal kuda yang isinya wajah Dewa sebagai lambang Face Of Glory. Di India Kudu tidak hanya di isi arca Dewa tetapi juga Raksasa yang disebut Kirtimuka yang berfungsi sebagai penolak bala.
Bahwa struktur atap candi yang mirip Shikara diperkuat dengan adanya kepala menara sudut yang ditangkupkan. Di India bentuk semacam ini disebut dengan Amalaka.
Kawah Sikidang
Kawah Sikidang merupakan kawah yang masih aktif, selainKawah Candradimuka, Kawah Sileri dan kawah-kawah yang lainnya.
Kawah Sikidang dapat dilihat dari jarak yang lebih dekat bahkan ditepi Kawah.
Salah satu keunikannya adalah berpindah tempat.
Berpindahnya kawah-kawah yang kecil di karenakan adanya dapur magma dadalam perut Bumi yang menghasilkan panas dan energi dengan tekanan yang kuat dan mendesak kepermukaan Bumi, sehingga menghasilkan letusan dan terbentuknya kawah-kawah kecil yang baru. Temperatur air kawah berkisar antara 70’ – 93’ C. Asap kawah kadang sangat tebal dan mengandung H2S sebanyak 40 ppm. Airnya bercampur belerang sehingga sebagian wisatawan biasanya memanfaatkan air tersebut untuk obat kulit, jerawat dan penghalus kulit.
Legenda Kawah Sikidang Yang Berkisah Cerita Cinta Yang Berakhir Tragis
Dahulu kala, sebelum terjadinya kawah, di daerah tersebut, hiduplah seorang ratu yang cantik jelita bernama Ratu Shinta Dewi. Karena kecantikannya masyur kemana-mana, hingga terdengar sampai ketelinga seorang Raja yang kaya dan sakti mandraguna yang bernama Raja Kidang Garungan. Raja Kidang Garungan datang keistana berniat untuk melamar sang putri dan keluarlah sang Ratu menemui sang Raja. Namun apa yang terjadi betapa laget sang Ratu melihat wajah sang Raja yang ternyata Raja Kidang Garungan berkepala kijang. Selanjutnya sang Ratu tidak berani menolak lamaran sang Raja, karena tahu akan kesaktiannya. Kemudian sang Ratu mengatur siasat dan minta di buatkan sumur yang sangat dalam dihadapan Ratu dan prajurit kerajaanya. Singkat cerita, dibuatlah sumur untuk sang ratu, pada saat mencapai yang terdalam, sang ratu memerintahkan prajuritnya untuk menimbun sumur tersebut dan akhirnya Raja Kidang Garungan terkubur dalam sumur yang dibuatnya, dalam kemarahannya sang Raja mengeluarkan kesaktiannya yang menyebabkan tanah disekitarnya bergetar dan terjadi ledakan yang kemudian berujud kawah. Raja mencoba kesana-kemari dan muncullah ledakan disana-sini hingga berujud kawah yang seolah-olah kawahnya berpindah-pindah. Sejak saat itu daerah ini dikenal dengan Kawah Sikidang.
Telaga Warna masuk dalam wilayah Kabupaten Wonosobo, dan luasnya hutan wisata Telaga Warna adalah sekitar 39 Ha. Disini terdapat 2 Telaga dalam satu cekungan yaitu Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Telaga Warna merupakan bekas kepundan Gunung berapi ribuan tahun yang lalu. Beberapa faktor yang menjadikannya kelihatan berwarna adalah adanya belerang dan lumut didasar telaga, sehingga tatkala Matahari bersinar menerpa air telaga membias dan seolah menjadi berwarna. Dan yang satunya adalah Telaga Pengilon, Pengilon adalah Bahasa Jawa yang artinya Cermin. Konon karena beningnya sering untuk bercermin atau bersolek bidadari dari Kahyangan.
Sedangkan legendanya Telaga Warna adalah dahulu digunakan sebagai tempat mandi bidadari-bidadari dari Kahyangan. Suatu ketika bidadari-bidadari sedang mandi diketahui manusia dan mereka bergegas untuk ganti baju dan terbang kekahyangan namun salah satu bidadari ada yang terjatuh selendangnya ketelaga. Dan konon selendang itulah yang menyebabkan telaga itu berwarna.